Oleh: Nur Vita Dinana
Roland
Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari
tanda-tanda melalui analisis semiotik ini. Kita tidak hanya mengetahui
bagaimana isi pesan yang hendak disampaikan, melainkan juga bagaimana pesan
dibuat, simbol-simbol apa yang digunakan untuk mewakili pesan-pesan melalui
film yang disusun pada saat disampaikan kepada khalayak.
Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang
signifikasi dua tahap, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah definisi
objektif kata tersebut, sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau
emosionalnya (Alex Sobur, 2003 : 263).
Adapun cara kerja atau langkah-langkah model
Semiotik Roland Barthes dalam mengenalisis makna dapat dipetakan sebagai
berikut :
1.
Signifier
(Penanda)
|
2.
Signified
(Petanda)
|
|
1.
Denotatif
Sign (Tanda Denotatif)
|
||
4.
CONNOTATIF SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
|
5.
CONNOTATIF SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
|
|
6. CONNOTATIF SIGN (TANDA KONOTATIF)
|
Dari peta
Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga
penanda konotatif (4) (Alex Sobur, 2004 : 69). Dari penanda konotatif akan
memunculkan petanda konotatif yang kemudian akan melandasi munculnya tanda
konotatif.
Secara
epistemologis, semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti
“tanda” (Sudjiman dan Van Zoest, 1996: vii) atau seme yang berarti
“penafsir tanda”. Umberto Eco (Alex Sobur, 2006: 95) menyatakan tanda itu
sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah
semiotika, semiologi atau strukturalisme secara bergantian untuk maksud yang
sama) adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda
itulah yang merupakan perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan
di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur 2004:
15). Suatu tanda hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya
dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang
ditandakan (signifier) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
bersangkutan (Sobur, 2004: 17).
Semiotika
meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory
(semua tenda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh
indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang
secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap
kegiatan dan perilaku manusia (Hasan, 2011: 60). Van Zoest mengartikan
semiotika sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengiriman dan penerimaan oleh
mereka yang mempergunakannya. Batasan yang lebih jelas dikemukakan Preminger,
ia menyebutkan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dimana fenomena
sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Sobur, 2006: 96).
Semiotika
adalah ilmu tentang tanda, fungsi tanda-tanda, dan produksi tanda (Tinarbuko,
2008: 12). Semiotika lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk “penerima”
karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang
lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk
melakukannya. Oleh karena iu, pembacaan itu ditentukan oleh pengalaman kultural
pembacanya. Pembaca membantu mencipatakan makna teks dengan membawa pengalaman,
sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut (Fiske, 2011: 61).
Analisis
semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan
makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang
pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk
serta sistem lambang baik yang terdapat pada media massa (televisi, media
cetak, film, radio, iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (karya
lukis, patung, candi, fashion show, dan sebagainya). Dengan kata lain, pusat
perhatian semiotika adalah pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks
(Pawito, 2007: 156). Menurut John Fiske (2011: 60) semiotika mempunyai tiga
bidang studi utama, yaitu:
1. Tanda
itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda,
cara tanda-tanda yang berbeda itu menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu
terkait dengan manusia yang menggunakannya.
2. Kode
atau sistem yang mengirganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk
mengekspliotasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan
tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan
kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Ada
sejumlah bidang terapan semiotika. Pada prinsipnya jumlah bidang terapan
semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses
komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya
yang lebih kompleks. Umberto Eco (1979: 9-10; Berger, 2010: 118) mengungkapkan
ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah
semiotika[6], antara
lain: Semiotika binatang; Tanda-tanda bauan; Komunikasi rabaan; Kode-kode perasaan; Paralinguistik; Semiotika medis; Kinesik dan proksemik; Kode-kode musik; Bahasa-bahasa yang diformalkan; Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal,
kode rahasia; Bahasa alam;
Komunikasi visual; Sistem objek; Struktur alur; Teori teks; Kode-kode budaya; Teks estetik; Komunikasi Mass; dan Retorika.
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas.
Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan
kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain: media, periklanan, tanda nonverbal, film,
komik-kartun-karikatur, sastra, dan musik. Semiotika untuk studi media massa
tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa sebagai
metode analisis (Sobur, 2004: 114)
Dengan
mengamati tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah teks (pesan) kita dapat mengetahui ekspresi emosi dan
kognisi pembuat teks atau pesan itu, baik secara denotatif, konotatif, maupun
mitologis (Manning dan Cullum Swan dalam Sobur, 2004: 122). Metode semiotika
tidak dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran
makna. Penekanannya terhadap teks dan interaksinya dalam memproduksi dan
menerima suatu budaya, difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan
memelihara nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai tersebut memungkinkan
komunikasi memiliki makna (Fiske, 2011: 148).
Gagasan-gagasan
Roland Barthes[7]
memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Roland Barthes dikenal
sebagai seorang pemikir strukturalis pengikut Saussure. Saussure mengintrodusir
istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang
atau teks dalam suatu paket pesan, maka Barthes menggunakan istilah denotasi
dan konotasi untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna (Pawito, 2007: 163). Denotasi
(denotation) adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi
atau realitas dalam pertandaan, sedangkan konotasi (connotation) adalah
aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003: 16-18). Didalam semiologi Barthes dan
para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama,
sementara konotasi merupakan tingkat kedua.
Bagi
Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tataran pertama.
Penanda tataran pertama merupakan tanda konotasi. Untuk memahami makna, Barthes
membuat sebuah model sistematis dimana fokus perhatian Barthes lebih tertuju
kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of
signification) yang digambarkan sebagai berikut:
First order Second order
Reality signs culture
form
content
Gambar 1. Signifikasi Dua
Tahap Roland Barthes
Sumber: John Fiske. 1990. Introduction to Communication Studies, 2nd
Edition. London: Routledge, hlm. 88.
Menurut
Barthes, yang dikutip Fiske dari gambar tersebut menjelaskan bahwa signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified
(petanda) di dalam sebuah tanda realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembicara serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi mempunyai
makna yang subyektif atau paling tidak inter-subyektif. Dengan kata lain,
denotasi adalah apa yang telah digambarkan tanda terhadap sebuah obyek,
sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Fiske, 1990: 88).
Pendekatan
semiotika Barthes pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan yang disebutnya mitos. Menurut
Barthes, bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu
yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikansi yang
disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (Budiman, 2011: 38). Makna
konotatif dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau petunjuk mitos
(yang menekankan makna-makna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna)
konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh (Berger, 2010:65).
Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan
pemaknaan tatana kedua dari petanda.
Barthes
menyebut fenomena ini –membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini
tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya
cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa
Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos
timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena
digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda
yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain
(Hermawan, 2007).
Sementara
Sudibyo (Sobur, 2003: 224) menyatakan bahwa Barthes mengartikan mitos sebagai
“cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan
atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang
saling berkaitan”. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan.
Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata lisan
maupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara
verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, iklan, forografi,
dan komik.
Perspektif
Barthes tentang mitos inilah yang membuka ranah baru dunia semiologi, yaitu
penggalian lebih jauh dari penanda untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas
keseharian masyarakat. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, Barthes
dalam buku Mythologies (1993) mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol
dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis,
melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan televisi
(Sobur, 2003: 208). Mitos dikaitkan dengan ideologi, maka seperti yang dikatakan
Van Zoest, “ideologi dan mitologi di dalam kehidupan kita sama dengan kode-kode
dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita”. Mitos adalah uraian naratif atau
penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian
yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari (Sobur,
2003: 209).
Menurut
Pawito (2007: 164), mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambang yang
kemudian menghadirkan makna-makna tertentu dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah
dan budaya masyarakat. Banyak hal yang di luar (atau tepatnya dibalik) lambang
(atau mungkin bahasa) harus dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap
lambang-lambang, dan inilah yang disebut mitos.
Dalam
bukunya yang terkenal, S/Z, Barthes menuliskan salah satu contoh tentang cara
kerjanya mengenai kode. Ia menganalisis sebuah novel kecil dan menguraikan
bahwa dalam novel tersebut terangkai kode rasionalisasi. Ada lima kode yang
ditinjau Barthes (Lechte dalam Sobur, 2003: 65-66), yaitu:
1. Kode
hermeneutik (kode teka-teki), yang berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan ”kebenaran” bagi pertanyaan yang ada dalam teks.
2. Kode
semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Pembaca menyusun tema
suatu teks.
3. Kode
simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural.
4. Kode
proaretik (kode tindakan), sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang,
artinya semua teks bersifat naratif.
5. Kode
gnomik (kode kultural), merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah
diketahui oleh budaya.
Karya-karya
Barthes seperti diatas memang sangat beragam. Karyanya berkisar dari teori
semiotika, esai kritik sastra, juga mengenai karya-karya bersifat pribadi
tentang kepuasan dalam wacana, cinta, dan fotografi. Barthes dalam setiap
esainya membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia
menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang
terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil kontruksi
yang cermat (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2006: 68).
[6]
Menurut Umberto Eco (1979: 9), setiap tindakan untuk berkomunikasi dengan atau
antar makhluk hidup menuntut syarat bahwa suatu sistem penendaan menjadi suatu
kondisi yang dibutuhkan. Maka, seluruh komunikasi antar umat manusia bersifat
terbuka bagi analisis semiotika atau semiologi.
[7]
Roland Barthes juga disebut tokoh yang memiliki peranan sentral dalam
strukturalisme di era 60-an hingga 70-an. Barthes lahir pada tahun 1915 dari
kalangan kelas menengah protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota
kecil dekat pantai Atlantik di sebelah Barat Daya Perancis. Ada banyak karya
yang dihasilkan oleh Roland Barthes selama ia menapaki dalam sejarah
pendidikannya. Karya yang cukup monumental yang dihasilkan Roland Barthes
yaitu, Le degre zero de Tcriture (1953/atau Nol Derajat di Bidang
Menulis). Setahun kemudian Barthes menerbitkan Michelet (1954). Kemudian
menulis buku, Mythologies (mitologi-motologi). Lalu terbit pula Critical
Essays (1964). Selanjutnya, Barthes juga menghasilkan karya yang berjudul Element
de Semiologi (Beberapa Unsur Semiologi). Kemudian juga menghasilkan karya, System
de La Mode (Sistem Mode) selain itu, Empire Des Signes (Kekaisaran
Tanda-Tanda) dan yang terakhir adalah Roland Barthes Pare Roland Barthes (Roland
Barthes oleh Roland Barthes). Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut
dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar
membatasi diri pada analisis secara semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan
konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari
arti ‘kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar