Jumat, 12 Juli 2013

Semiotika Roland Barthes



Oleh: Nur Vita Dinana

      Roland Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda melalui analisis semiotik ini. Kita tidak hanya mengetahui bagaimana isi pesan yang hendak disampaikan, melainkan juga bagaimana pesan dibuat, simbol-simbol apa yang digunakan untuk mewakili pesan-pesan melalui film yang disusun pada saat disampaikan kepada khalayak.
Teori Barthes memfokuskan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah definisi objektif kata tersebut, sedangkan konotasi adalah makna subjektif atau emosionalnya (Alex Sobur, 2003 : 263).
Adapun cara kerja atau langkah-langkah model Semiotik Roland Barthes dalam mengenalisis makna dapat dipetakan sebagai berikut :
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)

1.            Denotatif Sign (Tanda Denotatif)

4. CONNOTATIF SIGNIFIER
    (PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIF SIGNIFIED
    (PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIF SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes tersebut terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4) (Alex Sobur, 2004 : 69). Dari penanda konotatif akan memunculkan petanda konotatif yang kemudian akan melandasi munculnya tanda konotatif.



Secara epistemologis, semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan Van Zoest, 1996: vii) atau seme yang berarti “penafsir tanda”. Umberto Eco (Alex Sobur, 2006: 95) menyatakan tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semiotika, semiologi atau strukturalisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itulah yang merupakan perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur 2004: 15). Suatu tanda hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifier) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17).
Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tenda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia (Hasan, 2011: 60). Van Zoest mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengiriman dan penerimaan oleh mereka yang mempergunakannya. Batasan yang lebih jelas dikemukakan Preminger, ia menyebutkan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dimana fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Sobur, 2006: 96).
Semiotika adalah ilmu tentang tanda, fungsi tanda-tanda, dan produksi tanda (Tinarbuko, 2008: 12). Semiotika lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk “penerima” karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Oleh karena iu, pembacaan itu ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu mencipatakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut (Fiske, 2011: 61).
Analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang baik yang terdapat pada media massa (televisi, media cetak, film, radio, iklan) maupun yang terdapat di luar media massa (karya lukis, patung, candi, fashion show, dan sebagainya). Dengan kata lain, pusat perhatian semiotika adalah pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks (Pawito, 2007: 156). Menurut John Fiske (2011: 60) semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:
1.    Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.
2.    Kode atau sistem yang mengirganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengekspliotasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3.    Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Ada sejumlah bidang terapan semiotika. Pada prinsipnya jumlah bidang terapan semiotika tidaklah terbatas. Bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan hingga pada sistem budaya yang lebih kompleks. Umberto Eco (1979: 9-10; Berger, 2010: 118) mengungkapkan ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian ilmiah semiotika[6], antara lain: Semiotika binatang; Tanda-tanda bauan; Komunikasi rabaan; Kode-kode perasaan; Paralinguistik; Semiotika medis; Kinesik dan proksemik; Kode-kode musik; Bahasa-bahasa yang diformalkan; Bahasa tertulis, alfabet tidak dikenal, kode rahasia; Bahasa alam; Komunikasi visual; Sistem objek; Struktur alur; Teori teks; Kode-kode budaya; Teks estetik; Komunikasi Mass; dan Retorika.
Pada komunikasi, bidang terapan semiotika pun tidak terbatas. Adapun beberapa contoh aplikasi semiotika di antara sekian banyak pilihan kajian semiotika dalam domain komunikasi antara lain: media, periklanan, tanda nonverbal, film, komik-kartun-karikatur, sastra, dan musik. Semiotika untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa sebagai metode analisis (Sobur, 2004: 114)
Dengan mengamati tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah teks (pesan) kita dapat mengetahui ekspresi emosi dan kognisi pembuat teks atau pesan itu, baik secara denotatif, konotatif, maupun mitologis (Manning dan Cullum Swan dalam Sobur, 2004: 122). Metode semiotika tidak dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanannya terhadap teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu budaya, difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna (Fiske, 2011: 148).
Gagasan-gagasan Roland Barthes[7] memberi gambaran yang luas mengenai media kontemporer. Roland Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis pengikut Saussure. Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan, maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjukkan tingkatan-tingkatan makna (Pawito, 2007: 163). Denotasi (denotation) adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan, sedangkan konotasi (connotation) adalah aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003: 16-18). Didalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua.
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tataran pertama. Penanda tataran pertama merupakan tanda konotasi. Untuk memahami makna, Barthes membuat sebuah model sistematis dimana fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) yang digambarkan sebagai berikut:
         First order                                                   Second order







 
Reality                                                signs                                                  culture


Oval: Connotation
 


Oval:     Signifier 
    Signified 
Oval: Denotation
form
                                                                                       
Oval: Myth
                                                                                       
                                                                                     content




Gambar 1. Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
Sumber: John Fiske. 1990.  Introduction to Communication Studies, 2nd Edition. London: Routledge, hlm. 88.

Menurut Barthes, yang dikutip Fiske dari gambar tersebut menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembicara serta nilai-nilai dari kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak inter-subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang telah digambarkan tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya (Fiske, 1990: 88).
Pendekatan semiotika Barthes pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan yang disebutnya mitos. Menurut Barthes, bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikansi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (Budiman, 2011: 38). Makna konotatif dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau petunjuk mitos (yang menekankan makna-makna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna) konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh (Berger, 2010:65). Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatana kedua dari petanda.
Barthes menyebut fenomena ini –membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari –seperti halnya cerita-cerita tradisional– melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain (Hermawan, 2007).
Sementara Sudibyo (Sobur, 2003: 224) menyatakan bahwa Barthes mengartikan mitos sebagai “cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan”. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal (kata lisan maupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, iklan, forografi, dan komik.
Perspektif Barthes tentang mitos inilah yang membuka ranah baru dunia semiologi, yaitu penggalian lebih jauh dari penanda untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, Barthes dalam buku Mythologies (1993) mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan televisi (Sobur, 2003: 208). Mitos dikaitkan dengan ideologi, maka seperti yang dikatakan Van Zoest, “ideologi dan mitologi di dalam kehidupan kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita”. Mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari (Sobur, 2003: 209).
Menurut Pawito (2007: 164), mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambang yang kemudian menghadirkan makna-makna tertentu dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat. Banyak hal yang di luar (atau tepatnya dibalik) lambang (atau mungkin bahasa) harus dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, dan inilah yang disebut mitos.
Dalam bukunya yang terkenal, S/Z, Barthes menuliskan salah satu contoh tentang cara kerjanya mengenai kode. Ia menganalisis sebuah novel kecil dan menguraikan bahwa dalam novel tersebut terangkai kode rasionalisasi. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Lechte dalam Sobur, 2003: 65-66), yaitu:
1.    Kode hermeneutik (kode teka-teki), yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan ”kebenaran” bagi pertanyaan yang ada dalam teks.
2.    Kode semik (makna konotatif), banyak menawarkan banyak sisi. Pembaca menyusun tema suatu teks.
3.    Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural.
4.    Kode proaretik (kode tindakan), sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya semua teks bersifat naratif.
5.    Kode gnomik (kode kultural), merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui oleh budaya.

Karya-karya Barthes seperti diatas memang sangat beragam. Karyanya berkisar dari teori semiotika, esai kritik sastra, juga mengenai karya-karya bersifat pribadi tentang kepuasan dalam wacana, cinta, dan fotografi. Barthes dalam setiap esainya membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil kontruksi yang cermat (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2006: 68).



[6] Menurut Umberto Eco (1979: 9), setiap tindakan untuk berkomunikasi dengan atau antar makhluk hidup menuntut syarat bahwa suatu sistem penendaan menjadi suatu kondisi yang dibutuhkan. Maka, seluruh komunikasi antar umat manusia bersifat terbuka bagi analisis semiotika atau semiologi.
[7] Roland Barthes juga disebut tokoh yang memiliki peranan sentral dalam strukturalisme di era 60-an hingga 70-an. Barthes lahir pada tahun 1915 dari kalangan kelas menengah protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah Barat Daya Perancis. Ada banyak karya yang dihasilkan oleh Roland Barthes selama ia menapaki dalam sejarah pendidikannya. Karya yang cukup monumental yang dihasilkan Roland Barthes yaitu, Le degre zero de Tcriture (1953/atau Nol Derajat di Bidang Menulis). Setahun kemudian Barthes menerbitkan Michelet (1954). Kemudian menulis buku, Mythologies (mitologi-motologi). Lalu terbit pula Critical Essays (1964). Selanjutnya, Barthes juga menghasilkan karya yang berjudul Element de Semiologi (Beberapa Unsur Semiologi). Kemudian juga menghasilkan karya, System de La Mode (Sistem Mode) selain itu, Empire Des Signes (Kekaisaran Tanda-Tanda) dan yang terakhir adalah Roland Barthes Pare Roland Barthes (Roland Barthes oleh Roland Barthes). Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semiosis, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ‘kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar