Jumat, 12 Juli 2013

Peraturan UU No 40 th 1999 (Pers) dan UU No 32 th 2002 (Penyiaran)


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah                : Hukum Etika dan Media Massa
Dosen Pengampu        : Novi Maria Ulfah, M.S.I

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6dHcY2YQfFmCBYUT0blYfkebzx8bXrUAcDQWL_mu8gjSKKkE6UN54bfdzr-7jhDhD8XFFDsYHVNYLhQBwtKbTCS7LD5QWg2capCw0aX_Sh8TFPJISjDpprj3-FMTTiDseQ0v4PHqZ4V6m/s1600/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg
Disusun  oleh   :
Nur Vita Dinana
101211073

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.                    PENDAHULUAN
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala  jenis saluran yang tersedia. Dari pengertian pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers memiliki dua arti, arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi.
Sedanglan dalam arti sempit, pers  merujuk pada wahana / media komunikasi massa baik yang lektronik dan cetak.
Wahana komunikasi massa ada dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik.  Media massa elektronik, adalah media massa yang menyajikan informasi dengan  cara mengirimkan informasi melalui peralatan elektronik, seperti radio, televisi, internet, film.  Sedangkan media massa cetak, adalah segala bentuk media massa yang menyajikan informasi dengan cara mencetak informasi itu di atas kertas.  Contoh, Koran, majalah, tabloid, bulletin.[1]
Penyiaran yang merupakan padanan kata broadcasting yaitu semua kegiatan yang memungkinkan adanya siaran radio dan televisi yang meliputi segi ideal, perangkat keras dan lunak yang menggunakan sarana pemancaran atau transmisi, baik di darat maupun di antariksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik atau gelombang  yang lebih tinggi untuk dipancar luaskan dan dapat diterima oleh khalayak melalui pesawat penerima radio atau televisi dengan atau tanpa alat bantu.
 Menurut Undang-Undang Nomor 32, Tahun 2002
Penyiaran yang disebut broadacating memiliki pengertian sebagai kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan atau sarana transmisi di darat, di laut, dan di antariksa dengan menggunakan spectrum frekwensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik yang merambat melalui udara, kabel dan atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangakat penerima siaran.
Dapat disimpulkan bahwa Penyiaran (Broadcasting) adalah proses pengiriman informasi atau pemancarluasan siaran ke berbagai lokasi melalui proses pemancaran elektromagnetik, untuk dapat diterima secara serentak oleh masyarakat (khalayak) dengan meggunakan perangkat penerima siaran seperti radio, televisi, komunikasi data pada jaringan dan media lainnya.[2]
II.                  RUMUSAN MASALAH
A.      Isi UU No.40 Tahun 1999 (Pers) dan Isi UU No. 32 Tahun 2002 (Penyiaran)
B.      Contoh pelanggaran UU No. 40 Tahun 1999 dan  UU No. 32 Tahun 2002
III.                PEMBAHASAN
A.      Isi UU No.40 Tahun 1999 (Pers) dan Isi UU No. 32 Tahun 2002 (Penyiaran).

Isi UU No.40 Tahun 1999 (Pers)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S[3]

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a.      bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.
b.       bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
c.       bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun
d.      bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
e.       bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
f.        bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers.
Mengingat :
1.      Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang Dasar 1945.
2.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS. UU

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1.      Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2.       Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3.       Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4.      Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5.      Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6.       Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7.      Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8.      Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9.      Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10.  Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11.  Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12.  Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13.  Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14.  Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a.      memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.      menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan.
c.        mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
d.      melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.      memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a.      yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
b.      minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.       peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.

BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(2)  Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a.      melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
b.      menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
c.       memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
d.      mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
e.      memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
f.        mendata perusahaan pers.
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a.      wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan.
b.      wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan
c.       tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
(4)  Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Presiden.
(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(7) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a.      organisasi pers.
b.      perusahaan pers.
c.       bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a.      Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers.
b.      menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
c.        
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2.   Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala; Dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI

Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo

Isi UU No. 32 Tahun 2002
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2002
TENTANG
PENYIARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA[4]
Menimbang:
a)      bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b)      bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
c)      bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
d)      bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat social.
e)      bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
f)       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e maka Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu dicabut dan membentuk Undang-undang tentang Penyiaran yang baru.
Mengingat:
  1. Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 28F, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945.
  2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473).
  3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817).
  4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821).
  5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
  6. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881).
  7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886).
  8. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3887)
  9. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220);
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.
  2. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
  3. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
  4. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
  5. Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
  6. Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.
  7. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut.
  8. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.
  9. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  10. Sistem penyiaran nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  11. Tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional.
  12. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden atau Gubernur.
  13. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.
  14. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
BAB II
ASAS, TUJUAN, FUNGSI, DAN ARAH
Pasal 2
Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
Pasal 3
Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Pasal 4
  1. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.
  2. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Pasal 5
Penyiaran diarahkan untuk:
  1. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa.
  3. meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
  4. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
  5. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional.
  6. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup.
  7. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran.
  8. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi.
  9. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab.
  10. memajukan kebudayaan nasional.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENYIARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.
(2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.
(4) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.
Bagian Kedua
Komisi Penyiaran Indonesia.
Pasal 7
(1) Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.
(2) KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
(3) KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi.
(4) Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 8
(1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
(2) Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang:
  1. menetapkan standar program siaran.
  2. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran.
  3. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
  4. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
  5. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
(3) KPI mempunyai tugas dan kewajiban :
  1. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia.
  2. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran.
  3. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait.
  4. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang.
  5. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan
  6.  menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Pasal 9
(1) Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah berjumlah 7 (tujuh) orang.
(2) Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari dan oleh anggota.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh negara.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
(6) Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 10
(1)   Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a.      warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c.       berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara.
d.      sehat jasmani dan rohani.
e.      berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
f.        memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang penyiaran.
g.      tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa.
h.      bukan anggota legislatif dan yudikatif.
i.        bukan pejabat pemerintah; dan
j.        nonpartisan.
(2)   Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.
(3)   nggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
(4)   Anggota KPI berhenti karena:
  1. masa jabatan berakhir.
  2. meninggal dunia.
  3.  mengundurkan diri.
  4.  dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
  5. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
(1) Apabila anggota KPI berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
(2) Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan dan tugas KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengaturan tata hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah, serta tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan KPI Pusat.
Bagian Ketiga
Jasa Penyiaran
Pasal 13
(1)   Jasa penyiaran terdiri atas:
a.      jasa penyiaran radio; dan
b.       jasa penyiaran televisi.
(2)   Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselengga-rakan oleh:
a.      Lembaga Penyiaran Publik.
b.      Lembaga Penyiaran Swasta.
c.       Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
d.      Lembaga Penyiaran Berlangganan Berlangganan.
Bagian Keempat
Lembaga Penyiaran Publik
Pasal 14
(1) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
(2) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran Publik lokal.
(4) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Dewan pengawas ditetapkan oleh Presiden bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah dan/atau masyarakat.
(6) Jumlah anggota dewan pengawas bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) orang dan dewan pengawas bagi Lembaga Penyiaran Publik Lokal sebanyak 3 (tiga) orang.
(7) Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas.
(8) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.
(9) Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 15
(1)   Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari :
a.      iuran penyiaran.
b.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
c.       sumbangan masyarakat.
d.      siaran iklan; dan
e.      usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
(2)   Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui media massa.
Bagian Kelima
Lembaga Penyiaran Swasta
Pasal 16
(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
(2) Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
Pasal 17
(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
(2) Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.
Pasal 18
(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.
(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 19
Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta diperoleh dari:
  1. siaran iklan; dan/atau
  2. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Pasal 20
Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.
Bagian Keenam
Lembaga Penyiaran Komunitas
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan :
  1. tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan
  2. untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggam-barkan identitas bangsa.
(3) Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan komunitas nonpartisan yang keberadaan organisasinya:
  1. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas internasional.
  2. tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan
  3. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu.
Pasal 22
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 23
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Pasal 24
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas wajib membuat kode etik dan tata tertib untuk diketahui oleh komunitas dan masyarakat lainnya.
(2) Dalam hal terjadi pengaduan dari komunitas atau masyarakat lain terhadap pelanggaran kode etik dan/atau tata tertib, Lembaga Penyiaran Komunitas wajib melakukan tindakan sesuai dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Lembaga Penyiaran Berlangganan
Pasal 25
(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan.
(2) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya.
Pasal 26
(1)   Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 terdiri atas:
a.      Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit.
b.      Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel; dan
c.       Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui terestrial.
(2)   Dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Ber-langganan harus:
a.      melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan.
b.       menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta; dan
c.       menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri.
(3)   Pembiayaan Lembaga Penyiaran Berlangganan berasal dari :
a.      iuran berlangganan; dan
b.      usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Pasal 27
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
  1. memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik Indonesia.
  2. memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia.
  3. memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia.
  4. menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia; dan
  5. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.
Pasal 28
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan izin yang diberikan; dan
b. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.
Pasal 29
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 34 ayat (4) dan ayat (5) berlaku pula bagi Lembaga Penyiaran Berlangganan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
                                                                Bagian Kedelapan               
Lembaga Penyiaran Asing
Pasal 30
(1) Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.
(2) Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Stasiun Penyiaran dan Wilayah Jangkauan Siaran
Pasal 31
(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal.
(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.
(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.
Bagian Kesepuluh
Rencana Dasar Teknik Penyiaran dan
Persyaratan Teknis Perangkat Penyiaran
(1) Setiap pendirian dan penyelenggaraan penyiaran wajib memenuhi ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun lebih lanjut oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kesebelas
Perizinan
Pasal 33
(1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.
(2) Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(3) Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.
(4) Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:
a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.
(5) Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.
(6) Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c.
(7) Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui kas negara.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 34
(1) Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:
a. izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
b. izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing dapat diperpanjang.
(3) Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1 (satu) tahun.
(4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.
(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena :
a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;
b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan;
c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan kepada KPI;
d. dipindahtangankan kepada pihak lain;
e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran; atau
f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(6) Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak diperpanjang kembali.
BAB IV
PELAKSANAAN SIARAN
Bagian Pertama
Isi Siaran
Pasal 35
Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
Pasal 36
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu
yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Bagian Kedua
Bahasa Siaran
Pasal 37
Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38
(1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu.
(2) Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran.
Pasal 39
(1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.
(2) Sulih suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan.
(3) Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.
Bagian Ketiga
Relai dan Siaran Bersama
Pasal 40
(1) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik lembaga penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri.
(2) Relai siaran yang digunakan sebagai acara tetap, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dibatasi.
(3) Khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar negeri, durasi, jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi.
(4) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain secara tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat nasional, internasional, dan/atau mata acara pilihan.
Pasal 41
Antar lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini.
Bagian Keempat
Kegiatan Jurnalistik
Pasal 42
Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Hak Siar
Pasal 43
(1) Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.
(2) Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan hak siar.
(3) Kepemilikan hak siar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan secara jelas dalam mata acara.
(4) Hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(1) Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita.
(2) Ralat atau pembetulan dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam berikutnya, dan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan, ralat dapat dilakukan pada kesempatan pertama serta mendapat perlakuan utama.
(3) Ralat atau pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak membebaskan tanggung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
Bagian Ketujuh
Arsip Siaran
Pasal 45
(1) Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio, rekaman video, foto, dan dokumen, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun setelah disiarkan.
(2) Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedelapan
Siaran Iklan
Pasal 46
(1) Siaran iklan terdiri atas siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.
(2) Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
  1. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain.
  2. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif.
  3. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.
  4. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau
  5. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI.
(5) Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran.
(6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib mengikuti standar siaran untuk anak-anak.
(7) Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat.
(8) Waktu siaran iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20% (dua puluh per seratus), sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu siaran.
(9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari siaran iklannya.
(10) Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.
(11) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri.
Bagian Kesembilan
Sensor Isi Siaran
Pasal 47
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.
BAB V
PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN
Pasal 48
(1) Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.
(2) Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada :
  1. nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  2. norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.
(3) KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.
(4) Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:
  1. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan.
  2. rasa hormat terhadap hal pribadi.
  3. kesopanan dan kesusilaan.
  4. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadism.
  5. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan.
  6. penggolongan program dilakukan menurut usia khalayakpenyiaran program dalam bahasa asing.
  7.  ketepatan dan kenetralan program berita.
  8. siaran langsung; dan
  9. siaran iklan.
(5) KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.
Pasal 49
KPI secara berkala menilai pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pasal 50
1) KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.
2) KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanyapelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran.
3) KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e.
4) KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab.
5) KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.
Pasal 51
1) KPI dapat mewajibkan Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan dan/atau menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar.
2) Semua Lembaga Penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI yang berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
1) Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.
2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan Lembaga Penyiaran.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.
BAB VII
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 53
1) KPI Pusat dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
2) KPI Daerah dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 54
Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan.

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 55
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (7), Pasal 34 ayat (5) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf f, Pasal 36 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (11), dikenai sanksi administratif.
2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a)      teguran tertulis.
b)      penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu.
c)      pembatasan durasi dan waktu siaran.
d)      denda administrative.
e)      pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu.
f)       tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran.
g)      pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 56
1) Penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2) Khusus bagi tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b dan huruf e, penyidikan dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 57
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3).
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5).
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).
Pasal 58
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4).
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).
Pasal 59
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di bidang penyiaran yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru.
2) Lembaga Penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-undang ini tetap dapat menjalankan fungsinya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun untuk jasa penyiaran radio dan paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi sejak diundangkannya Undang-undang ini.
3) Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
1) KPI harus sudah dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.
2) Untuk pertama kalinya pengusulan anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas usulan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 62
1) Ketentuan-ketentuan yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (8), Pasal 55 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah selesai disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 63
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
B.       Contoh pelanggaran UU No. 40 Tahun 1999 dan  UU No. 32 Tahun 2002
1.      Pelanggaran Pasal 4 ayat 3
Makassar (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyikapi dan menyesalkan pelanggaran PT Semen Tonasa terkait Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pelanggaran wartawan melakukan tugas jurnalistik. Kejadian pelarangan peliputan tersebut saat kebakaran di Pelabuhan Biring Kassi PT Semen Tonasa Kabupaten Pangkep pada Selasa 9 Oktober 2012. "Dalam UU No 40/1999 Tentang Pers aturan internal sebuah lembaga/instansi tidak mengharuskan jurnalis izin ke pimpinan dalam melakukan tugas peliputan. Apalagi liputan mereka menyangkut musibah kebakaran dapat mengancam hidup orang banyak," ujar Direktur LBH Makassar Abdul Azis di Makassar, Jumat. Menurut dia, kemerdekaan pers telah menjamin dan memberikan hak kepada pekerja pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 3 UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers.
"Perlu dipahami manajemen perusahaan yang dimaksud untuk bisa terhindar dari sanksi pelanggaran undang-undang pers, maka sebaiknya memahami aturan pers, sebab wartawan itu dilindungi undang-undang," paparnya. Meskipun perusahaan atau instansi memiliki aturan tersendiri membatasi akses masuk, namun perlu diketahui pihak perusahaan memang harus mengerti dan paham tentang UU Pers dimana jurnalis membutuhkan informasi untuk diseberluaskan. "Pelarangan dan perlakuan kasar terhadap jurnalis adalah sebuah bentuk tindakan yang tidak menghormati kemerdekaan pers. Upaya manajemen yang menghambat atau menghalangi wartawan menjalankan tugas jurnalistik adalah pelanggaran," ungkapnya. Pihaknya juga mendesak Polres Kabupaten Pangkep agar melakukan proses penegakan hukum dan HAM terhadap dugaan perbuatan melawan, menghambat dan menghalangi wartawan mencari informasi. "Salah satu kontributor Kompas TV Makassar Chermanto Tjombah dan Ade Chayadi jurnalis Pare Pos telah dilarang mengakses informasi, ini pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers," ulasnya.
Sebelumnya, Wartawan Kompas TV Makassar Chermanto Tjombah telah melaporkan perlakuan kasar tersebut ke Polres Kabupaten Pengkep dengan nomor laporan STPL/294/X/2012/SPKT pada hari Selasa 9 Oktober diusir saat peristiwa kebakaran.
Perihal laporan tidak pidana melanggar UU Pokok Pers nomor 40 Tahun 1999 menghalang-halangi kegiatan pers melakukan peliputan yang dilakukan oleh pelapor lelaki bernama Baperson selaku Kepala Sekurity PT Semen Tonasa Pangkep. Kronologis terkait dengan sejumlah jurnalis yang melakukan pengambilan gambar saat kebakaran terjadi di BTG I Pelabuhan Biring Kassi PT Semen Tonasa. Saat itu pelaku berusaha menghalang-halangi jurnalis mengabadikan gambar ketika kebakaran berlangsung. (T.KR-DF/S016).[5] 

2.       Pelanggaran pada Pasal 8 ayat 3 (c) KAIP Pertanyakan Soal Monopoli Media Penyiaran
Jakarta, Pelita
Tim Komite Advokasi untuk Independen Penyiaran (KAIP) mendatangi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mereka mempertanyakan rencana merger SCTV dan Indosiar serta kepemilikan media penyiaran yang cenderung berpusat di satu pemilik atau korporasi. Kami mengadukan (merger ini) ke KPI agar memberikan solusi kepada pihak-pihak yang terkait akan dilaksanakan (merger ini) untuk diberikan solusi, kata anggota KAIP Wirawan Adnan yang dihubungi di Jakarta, Senin (28/3). KAIP mempertanyakan rencana merger dua stasiun televisi nasional antara SCTV dan Indosiar dan kepemilikan Media Nusantara Citra (MNC) yang mengendalikan 99 persen saham RCTI, 99 persen saham Global TV dan 75 persen saham MNC. Demikian juga dengan Viva Media yang memegang kendali ANTV dan TVOne serta Trans Corporation yang memiliki TransTV dan Trans7.
KAIP menilai, kepemilikan lembaga penyiaran swasta seperti televisi dikhawatirkan memunculkan pemusatan usaha. Selain itu, penyebaran informasi yang akan dilakukan dua stasiun televisi yang dipegang satu orang saja ditakutkan terjadi semena-mena. Selama ini, telah terjadi pelangaran UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran namun didiamkan oleh pemerintah, kata Adnan. Anggota KPI Bidang Infrastruktur Penyiaran Iswandi Syahputra membenarkan sejumlah pengacara telah mendatangi kantornya mempertanyakan merger yang terjadi di lembaga penyiaran di Indonesia. Hal ini yang terjadi pada rencana merger SCTV dengan Indosiar yang masih dalam proses pembicaraan antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dan KPI. Sampai saat ini belum ada keputusan apakah (merger) dibenarkan atau tidak, ungkap Iswandi.Kekhawatiran ketidakadilan akan muncul, ujar Iswandi, tatkala merger SCTV dan Indosiar tidak disetujui pemerintah. Karena, tiga kelompok media sebelumnya tidak dipermasalahkan kepemilikannya oleh pemerintah.
Untuk itu, KPI mendorong kasus ini diselesaikan melalui pengadilan agar transparan. Kelak, keputusan pengadilan bisa dijadikan dasar hukum yurisprudensi untuk kasus-kasus sebelumnya, jelasnya. Adnan menambahkan, rencananya KAIP akan menemui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).Menurutnya, gugatan yang dilakukan KAIP mewakili kepentingan rakyat dan hal ini dibolehkan dalam konstitusi. KAIP terdiri dari Wirawan Adnan, Soleh Amin, Lutfi Hakim, dan Munarman sebagai koordinator.
Terkait dengan undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002 pasal 5 (g) yang berbunyi mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat dalam bidang penyiaran. Namun pada kenyataanya, kondisi persaingan lembaga penyiaran di Indonesia saat ini mulai menunjukkan pada arah yang kurang sehat. Seperti yang terjadi pada lembaga penyiaran Media Nusantara Citra (MNC) dengan mendominasi kepemilikan saham PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Global Informasi Bermutu (GIB), Citra Televisi Pendidikan Indonesia (Citra TPI), PT MNC Network (MNCN). [6]

IV.              KESIMPULAN
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 5 poin g, jelas bahwa PT Media Nusantara Citra telah melanggar Undang-Undang yang berlaku dalam hal dominasi kepemilikan saham (monopoli). Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Terkait pelanggaran yang dilakukan oleh PT Media Nusantara Citra, maka berlaku pula Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasal 17, 27 dan 28. Serta didukung dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Bab V Pembatasan Kepemilikan Dan Penguasaan Serta Kepemilikan Silang Bagian Pertama Pembatasan Kepemilikan dan Penguasaan Paragraf 2 Jasa Penyiaran Televisi Pasal 32
Dalam hal ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bersikap tegas dalam menindak monopoli dalam penyiaran yang dilakukan oleh PT MNC Tbk. Karena tindakan monopoli dalam dunia penyiaran televise dapata menyebabkan iklim persaingan yang tidak sehat. Jika stasiun televisi tidak mematuhi, maka KPI harus memperkarakan pelanggaran tersebut secara hukum dengan sanksi terberat berupa pencabutan ijin siaran melalui putusan pengadilan.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini Saya susun, Saya menyadari dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang masih dalam proses pembelajaran. Maka dari itu saya selaku penulis makalah ini mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan dan kemajuan Saya dalam proses pembelajaran.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin..















DAFTAR PUSTAKA
Nurudin.2009.Jurnalisme Masa Kini.Jakarta: Rajawali Pers
Prof.Dr.H.Samsul Wahidin,Hukum Pers,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hal 217-229
http://mkholilblog.blogspot.com/2012/08/pengertian diakses pada tgl 30 maret 2013 pukul 10:42
http://sugengrusmiwari.blogspot.com/2011/09/penyiaran-broadcasting.html diakses pada tanggal 30 maret 2013 pukul 10:56
bahankuliahikomunand.files.wordpress.com/.../makalah-he.diakses  pada tanggal 2 April 2013



[1] Nurudin.2009.Jurnalisme Masa Kini.Jakarta: Rajawali Pers
[3] Wahidin.Prof.Dr.H.Samsul,Hukum Pers,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hal 217-229
[6] bahankuliahikomunand.files.wordpress.com/.../makalah-he.diakses  pada tanggal 2 April 2013

1 komentar:

  1. makalahnya bagus...
    tapi sebaiknya Undang-undangnya bukan di pembahasan, tapi di Lampiran !!!

    BalasHapus