Nama
: Nur Vita Dinana
Nim : 101211073
Makul
: Sinematografi
1.
Pengertian Religiusitas
Religiusitas berasal dari bahasa latin religio
yang berarti agama; kesalehan; jiwa keagamaan. Henkten Nopel mengartikan
religiusitas sebagai keberagaman, tingkah laku keagamaan, karena religiusitas
berkaitan dengan erat dengan segala hal tentang agama (Henkten, 1994). Dalam
pengertian lain Religi berakar dari kata religare berarti mengikat yaitu
merujukkan pada hal yang dirasakan sangat dalam, yang bersentuhan dengan
keinginan seseorang yang menumbuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau
mengikat seseorang dalam suatu masyarakat (Nashori, 2002).
Religiusitas secara umum dapat dikaitkan dengan agama
oleh karenanya pengertian dari religiusitas dapat dirujukkan pada pengertian
agama. Agama sendiri dapat diartikan sebagai sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi (ultimate
meaning) (Ancok dan Suroso, 2009). Sedangkan Shihab (1992) menyatakan bahwa
agama adalah ketetapan illahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya utnuk menjadi
pedoman manusia sementara Shihab (1992) menyimpulkan bahwa agama adalah
hubungan antara makhluk dengan khaliknya yang terwujud dalam sikap batinnya
serta tampak dalam ibadah yang dilakukan dan tercermin pula dalam sikap
kesehariannya.
Berdasarkan pengertian di
atas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah ukuran seberapa jauh
pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa besar pelaksanaan akidah, dan
seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya.
2.
Dimensi Religiusitas
Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia, aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah) saja, tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan lahir. Oleh
karenanya menurut Shihab (1992) bahwa agama meliputi tiga persoalan pokok yaitu
tata keyakinan, tata peribadatan dan kaidah.
Adapun untuk mengetahui
tinggi rendahnya tingkat religiusitas seseorang, dapat dilihat dari ekspresi
keagamaannya yaitu terhadap kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai
luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku
merupakan ciri dari kematangan beragamanya. Jadi kematangan beragama terlihat
dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan
nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang
menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebut yang baik,
karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkannya
dalam setiap tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap
agamanya” (Mangun Wijaya, 1982).
Beberapa dimensi yang dapat
dijadikan sebagai indikator nilai pemahaman mengenai pengetahuan dalam agama menurut rumusan (Ancok dan Suroso, 2008), yaitu :
a. Ideological Dimension (Dimensi
Keyakinan), yaitu tingkatan sejauhmana orang menerima hal-hal yang dogmatik di
dalam agamanya. Misalnya apakah seseorang yang beragama percaya tentang adanya
malaikat, surga, neraka dan lain-lain yang bersifat dogmatik.
b. Ritual Dimension (Dimensi
Peribadatan atau Praktek Agama), yaitu tingkatan sejauhmana orang mengerjakan
kewajiban ritual agamanya. Misalnya shalat, puasa, zakat dan
lain-lain.
c. Intellectual
Involvement (Dimensi Pengetahuan Agama), yaitu sejauhmana
seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Misalnya mengetahui makna dari
Idul Fitri.
d. Experiental Dimension (Dimensi Penghayatan), yaitu dimensi yang berisikan
pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang
dari Tuhan. Misal apakah seseorang pernah dekat dengan Tuhan, merasa takut
berbuat dosa, merasakan bahwa doanya dikabulkan Tuhan atau pernah merasakan
bahwa jiwanya selamat dari bahaya karena pertolongan Tuhan, dan lain-lain.
e. Consequential
Dimension (Dimensi Pengamalan), yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku
seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya.
Menurut Ancok dan Suroso (2008)
rumusan Glock dan Stark diatas mempunyai kesesuaian dengan Islam, sehingga ia membaginya juga dalam lima
dimensi yaitu :
a. Dimensi
Akidah atau iman, yaitu mencakup keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan,
malaikat, kitab suci, nabi, hari akhir serta qadha dan qadar. Iman adalah segi
teoritis yang pertama-tama dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh
dicampuri oleh keragu-raguan dan prasangka.
b. Dimensi Ibadah, yaitu sejauh mana tingkat frekuensi, intensitas pelaksanaan
ibadah seseorang. Dimensi ini mencakup pelaksanaan shalat, puasa, zakat dan
haji. Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT karena
didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid. Beribadah
dengan menyembah Allah berarti memusatkan penyembahan kepada Allah semata,
tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali kepada-Nya. Pengabdian
berarti penyerahan mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahir dan batin bagi
manusia kepada kehendak ilahi, itu semua dilakukan dengan kesadaran baik dalam
hubungan secara vertical maupun secara horizontal.
c. Dimensi
Ihsan, yaitu mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam
kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan menerima
balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan melaksanakan perintah agama.
d. Dimensi Ilmu, yaitu tingkatan seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang
ajaran agamanya. Yang dimaksud dengan ilmu adalah segala macam ilmu yang
dibutuhkan manusia dalam hidupnya, baik kebutuhan duniawi maupun ukhrowi. Ilmu
adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kezaliman dan kekuatan
tubuh dari kelemahan. Dengan ilmu seorang hamba akan sampai pada kedudukan
orang-orang baik dan tingkatan yang paling tinggi. Ilmu adalah
pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu diilhamkan kepada orang-orang
yang berbahagia dan diharamkan bagi orang-orang yang celaka.
e. Dimensi Amal, yaitu meliputi bagaimana pengamalan keempat diatas
ditunjukkan dalam tingkah laku seseorang. Dimensi ini menyangkut hubungan
manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh para pedagan.
Tingkat religiusitas seseorang tidak dapat lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi di sekitarnya, karena manusia sebagai makhluk sosial selalu
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut terjadi saling
mempengaruhi antara hubungan manusia dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian diatas maka dimensi dalam religiusitas adalah dimensi
keyakinan, dimensi peribadatan atau praktek agama, dimensi pengetahuan agama, dimensi penghayatan,
dimensi pengamalan.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas
Religiusitas atau
keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya: pendidikan
keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil
atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat
pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan
teman-teman yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama
baik di rumah maupun di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan agama di masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak
akan merasakan betapa pentingnya agama dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan
pendidikan agama baik di rumah mapun di sekolah dan masyarakat, maka orang
tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa
menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan agama (Syahridlo,
2004).
Thoules
(azra, 2000) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas, yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor
sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan,
termasuk pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan
berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
b.
Berbagai
pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan terutama
pengalaman mengenai:
1)
Keindahan,
keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah)Adanya konflik moral
(faktor moral)
2)
Pengalaman
emosional keagamaan (faktor afektif)
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan,
cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar